Bulan
Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan warna ketaatan. Selain ibadah puasa di
siang hari, kaum muslimin dapat menikmati keindahan tadabbur dan tilawah
al-Qur’an di malam hari. Dengan merenungkan ayat-ayat al-Qur’an itulah
ketenangan jiwa akan didapatkan.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah,
bahwa dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang.” (QS.
Ar-Ra’d: 28). Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan berdzikir
kepada Allah dalam ayat ini adalah Kitab-Nya. Yaitu, tatkala seorang mukmin
mengetahui kandungan hukum dari ayat-ayat Allah yang menunjukkan kepada
kebenaran maka hatinya pun merasakan ketentraman. Sebab hatinya tidak bisa
merasakan ketentraman tanpa ilmu dan keyakinan, sementara ilmu dan keyakinan
itu bisa diperoleh dengan memperhatikan Kitabullah tersebut (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 418 cet. Ar-Risalah) Membaca dan merenungkan ayat-ayat
al-Qur’an adalah bagian dari dzikir. Sementara kedudukan dzikir bagi seorang insan laksana air
bagi seekor ikan. Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah mengatakan, “Dzikir
bagi hati laksana air bagi ikan. Apakah yang akan terjadi jika ikan dipisahkan
dengan air?” Bagaimana mungkin seorang hamba mengaku mencintai Allah,
sementara hati dan lisannya kering dari mengingat dan memuji-Nya?! Demikianlah
yang telah dipraktekkan oleh salafus shalih. Mereka adalah suatu kaum yang
mengagungkkan Kitabullah dengan semestinya. Mereka tidak hanya mengimani
al-Qur’an sebagai bacaan ataupun wahyu dari sisi-Nya, tetapi mereka juga
menerapkan ajarannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan jika mereka mendapatkan predikat generasi terbaik umat ini. Gelar
yang layak mereka sandang, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR.
Bukhari dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu’anhu) Para sahabat radhiyallahu’anhum telah
menjadi teladan bagi generasi berikutnya dalam menjadikan al-Qur’an sebagai
jalan hidup mereka. Oleh sebab itu mereka pun mulia di sisi Allah karena
ketakwaan mereka, kedalaman ilmu mereka,
amal salih mereka, dan kecintaan mereka yang teramat besar terhadap Allah dan
Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah akan mengangkat kedudukan sebagian kaum dengan Kitab ini dan akan
merendahkan sebagian yang lain dengan Kitab ini pula.” (HR. Muslim dari
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu) Mereka adalah sebuah generasi
yang telah ridha terhadap Allah, Islam dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka tidak rela untuk menjual keimanan dan tauhid yang mereka miliki dengan
kenikmatan dunia apapun.
Mereka lebih memilih disiksa daripada harus menuruti
kemauan thaghut dan dedengkot kekafiran. Seperti Bilal bin Rabah radhiyallahu’anhu yang
rela tubuhnya tersengat teriknya panas padang pasir dan kesakitan di bawah
tindihan batu dengan kalimat ‘Ahad, Ahad’ yang terus mengalir dari bibirnya
yang mulia. Itulah manisnya iman yang mereka gapai dengan segenap pengorbanan
dan perjuangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan
merasakan manisnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai
agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-’Abbas bin Abdul
Muthallib radhiyallahu’anhu) Para sahabat hidup di bawah naungan
al-Qur’an. Sehingga ayat-ayat suci itu mewarnai hidup dan kehidupan mereka,
mewarnai hati dan tingkah laku mereka. Tidak sebagaimana kaum Khawarij yang
hanya menjadikan al-Qur’an sebagai hiasan di bibir dan lisan mereka. Akan
tetapi, pemikiran dan keyakinan mereka melesat dari agama sebagaimana
melesatnya anak panah menembus sasarannya. Kaum Khawarij itulah
-meskipun mereka memiliki banyak hafalan al-Qur’an dan bersungguh-sungguh dalam
beribadah- kelompok orang yang mendapatkan celaan keras dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka lah yang disebut sebagai anjing-anjing neraka.
Sejelek-jelek manusia dan seburuk-buruk kaum yang terbunuh di bawah kolong
langit ini. Bahkan, bagi orang yang berhasil membunuh mereka Nabi janjikan
pahala yang besar di sisi Allah pada hari kiamat kelak. Para sahabat radhiyallahu’anhum tidak
memandang al-Qur’an sebagai kumpulan dongeng atau cerita pelipur lara belaka. Bahkan,
mereka menjadikan al-Qur’an sebagai undang-undang kehidupan mereka dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, dalam hidup individu dan rumah tangga. Mereka pun
tidak menganggap bahwa masa berlakunya hukum-hukum Kitabullah hanya untuk dua
atau tiga generasi saja. Bahkan, al-Qur’an itu cocok dan sesuai dengan segala
masa dan suasana. Oleh sebab itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berpesan, “Ikutilah
tuntunan dan janganlah kalian mengada-adakan ajaran baru, karena sesungguhnya
kalian telah dicukupkan.” Para sahabat radhiyallahu’anhum menjadikan
al-Qur’an sebagai sesuatu yang harus diyakini dan diamalkan, bukan sesuatu yang
harus diragukan apalagi untuk diperdebatkan! Mereka sangat yakin bahwa
al-Qur’an adalah sebaik-baik pembicaraan, sejujur-jujur perkataan, dan
sebaik-baik petunjuk bagi kemanusiaan. Ia diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji. Tidaklah datang kepadanya kebatilan, dari arah
depan, maupun dari arah belakang. Seandainya seluruh manusia bersatu padu untuk
membuat sesuatu yang serupa dengannya, niscaya mereka akan gagal dan tidak
sanggup melakukannya, meskipun mereka bahu-membahu dan saling membantu satu
dengan yang lain. Tidak mungkin mereka bisa menandingi mukjizat yang agung ini.
Inilah kemuliaan al-Qur’an yang akan membuat tentram dan sejuk hati insan
beriman. Dan sebaliknya, ia tidak akan mendatangkan pengaruh kepada orang-orang
yang zalim kecuali kerugian dan kebencian. Salafus shalih telah memberikan
teladan kepada kita dalam mewarnai bulan yang mulia ini dengan interaksi yang
intensif bersama al-Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
setiap tahunnya menyetorkan hafalan al-Qur’an kepada Jibril ‘alaihis
salam di setiap malam di bulan Ramadhan. Demikian pula salafus shalih,
mereka memperbanyak membaca al-Qur’an di bulan Ramadhan, di dalam maupun di
luar sholat. Az-Zuhri rahimahullah berkata apabila telah masuk bulan
Ramadhan, an.“Sesungguhnya ini adalah kesempatan untuk membaca al-Qur’an
dan memberikan makan” Imam Malik rahimahullah, apabila telah datang
bulan Ramadhan maka beliau menutup majelis hadits dan mengkhususkan diri untuk
membaca al-Qur’an dari mushaf. Qatadah rahimahullah pada bulan Ramadhan mengkhatamkan
al-Qur’an setiap tiga malam, sedangkan pada sepuluh hari terakhir beliau
mengkhatamkannya setiap malam. Begitu pula Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah,
pada sepuluh hari terakhir beliau mengkhatamkan al-Qur’an setiap dua malam
(lihat Majalis Syahri Ramadhan karya
Syaikh Utsaimin, hal. 26-27 cet. Dar al-’Aqidah) Wahai
saudaraku, ucapan manusia… Telah membuat kita lupa akan ucapan Rabb kita Kita
sibuk dengan perkataan si fulan atau ‘allan Sementara kita lalai dari
nasehat dan bimbingan ar-Rahman Saudaraku, bulan penuh berkah ada di
hadapan Jangan sampai ia berlalu sedangkan kita terus tenggelam dalam
kelalaian Ya Allah, Ya Rabbi, pertemukanlah kami dengan bulan ituLarutkanlah
kami dalam malam-malam indah bersama-Mu…